Jumat, 18 Mei 2012
“ Menimba Ilham Vitalitas dari Nilai Pesantren “
Taushiyah - D. Zawawi Imron
AKHIR-AKHIR INI, sulitnya sebagian masyarakat mencari makan, persaingan hidup yang tidak sehat, dan lapangan kerja yang sempit serta masa depan yang tidak jelas. Kondisi tersebut bisa membentuk atmosfer kehidupan yang tidak memberi kesempatan kepada sebagian masyarakat untuk berpikir lapang dan jernih. Timbullah gejala manusia yang kehilangan jati diri.
Pertanyaannya, bersalahkah orang-orang ini bila jiwa mereka menjadi oleng dan kemudian bertingkah yang bukan-bukan? Jawabnya: tetap bersalah.
Namun, kalau kita berpikir lebih bijak dan adil, sistem yang menciptakan atmosfer serba sulit itu jelas tidak bisa cuci tangan. Hal ini diungkit bukan sekadar untuk memperbanyak jumlah tergugat, meskipun tidak untuk diadili, melainkan untuk mengejar sampai sejauh mana akar permasalahan krisis bisa dibaca dan dicarikan solusi.
Toh, dongeng lama kakek moyang juga mengajarkan hal itu. Ketika seekor anak garangan --sebangsa musang-- mati diinjak kijang, laba-laba yang sedang merajut jala pun juga dipersalahkan. Pasalnya, kijang itu lari kencang sampai menginjak anak garangan gara-gara takut terjerat jaring laba-laba.
Dongeng memang bukan sebuah petunjuk yang harus dilaksanakan seperti undang-undang. Dongeng hanyalah sejenis refleksi kultural dalam bentuk sastra tutur. Akan tetapi, bagi orang yang berpikir dengan kaca mata budaya, dari cerita itu bisa ditemukan sejenis “arah” yang memang tidak teramat jelas. Orang yang berpikir jernih akan mengembangkan ketidakjelasan itu untuk mengenal dan menelusuri hakikat kehidupan dan berupaya untuk mengejar makna-makna baru, serta mengembangkannya untuk menemukan arah hidup yang lebih indah.
Dengan demikian, dongeng menyuruh orang menjadi “nyalang” melihat dengan pikiran yang visioner sembari bertanya ihwal mengapa orang berbuat sesuatu, dan bertanya, ada apa di balik sesuatu? Mengapa orang merusak dan berbuat jahat, dan siapa yang menyebabkan ia merusak? Hukum tentu tetap harus berlaku dan bicara dengan suatu keadilan. Selain itu, mesti diingat bahwa hukuman tidak menjamin orang menjadi jera untuk mengulang kejahatan lagi. Mengapa? Mungkin karena penyebab atau “biang” dari tindak kejahatan tidak ikut diberantas.
Hamba hukum dan seluruh anggota masyarakat dalam era modern diminta kejeliannya untuk mengawasi dan menemukan “biang” itu. Biang di sini tidak selalu provokator, siapa tahu masih ada biang lain yang tidak kalah lihai ketimbang setan, yakni the invisible hands. Awas dan waspada tentu tidak sama dengan berburuk-sangka (su’uzh-zhann). Di samping itu, perlu juga diwaspadai biang-biang lain berupa realitas kegetiran dan atmosfer sumpek yang membuat orang megap-megap untuk bernafas dan membuat nestapa kemanusiaan menjadi komunal yang lalu tak terbendung. Bagaimana disharmoni sosial tak akan meluas bila selama sekian puluh tahun timpang, di samping religiositas (rasa takwa) yang makin dangkal (ekstrinsik). Kesenian hanyalah hiburan yang tak punya muatan substansi kemanusiaan. Simpati dan empati pada sesama manusia menjadi kering kerontang. Itulah hidup nafsi-nafsi, yang menjadi salah satu sumber krisis.
Kebingungan akan menemukan peluang dalam bentuk yang mengerikan. Demonstrasi di kota-kota berlangsung hampir tiap hari. Korupsi menjadi berita koran meskipun koruptornya tidak dihukum, karena konon tidak cukup bukti. Orang miskin masih banyak jumlahnya. Betulkah ini adalah korban dari modernisasi yang tidak selalu steril dari virus-virus? Entahlah! Tetapi, ada ucapan menarik dari Peter L. Berger, sosiolog humanis murid Max Weber, yang berpendapat bahwa, modernisasi bekerja seperti palu raksasa yang menggusur lembaga-lembaga, struktur, dan nilai-nilai tradisional. Bila memang demikian, modernisasi yang tidak mempertimbangkan kelayakan, bahkan dipaksakan, bisa saja dituduh sebagai biang. Reformasi pun, saya kira, tidak banyak berbeda dari modernisasi bila sudah tidak menghormati kemanusiaan dan kebersamaan dan bisa saja kebablasan ibarat mobil yang ngeslong karena remnya blong.
Barangkali, kini sudah saatnya kita untuk mengembangkan kasih sayang kepada seluruh umat. Rasa kemanusiaan perlu minum penghayatan yang mendalam pada penderitaan manusia.
Cinta kemanusiaan itu telah dicanangkan oleh Rasulullah, “Tidak beriman seorang kamu sehingga mencintai saudaramu sebagaimana mencintai dirimu sendiri.” Inilah nilai-nilai, yang memandu persaudaraan, cinta, kebersamaan, tolong-menolong, kedamaian, persamaan dan nilai-nilai.
Krisis multidimensi tidak bisa diselesaikan sendiri. Kita harus bahu-membahu dengan persaudaraan yang intens. Ilmu apa saja, tanpa mewujudkan kebersamaan dan persaudaraan, sulit untuk menyelesaikan krisis. Dalam hal ini, puisi, karya sastra serta karya seni lainnya bisa membantu untuk memberikan kesadaran untuk mengupayakan kehidupan yang layak dengan jiwa yang jernih dan akal sehat.
Suara sastra memang bukan suara umum dan resmi. Sastra adalah suara particular. Namun karena itu, daya kreatif pengarang dipertaruhkan untuk menyajikan suara dan nilai baru. Karena particula-nya itu ia memberi kesegaran-kesegaran baru dan memberi inspirasi bagi seseorang atau beberapa kelompok manusia yang jiwanya memang dahaga terhadap minuman sastra. Dengan demikian, sang seniman tidak menyuguhkan barang yang laris di pasaran yang mengarang karya karena latah, tapi benar-benar menyuguhkan sesuatu yang lain dari yang lain, baru dan otentik. Cuma diharapkan mampu menjadi sejenis sepercik embun yang menyegarkan tanaman.
Dengan demikian, puisi yang baik akan punya peran untuk memandu ke arah pendalaman hati nurani, ketajaman sensibilitas kemanusiaan, yang otomatis akan menolak jiwa kasar serta pendangkalan rohani. Karena itu, kegiatan apresiasi puisi selain menjadi bagian dan gairah kebudayaan, sekaligus bisa bersinergi dengan agama dalam membentuk sikap yang santun dalam segala hal, dan budi perkerti mulia tanpa kebencian. Budi perkerti mulia itulah yang membedakan antara manusia dengan binatang.
Kehadiran agama Islam dan Nabi Muhammad sebagai “rahmat” bagi dunia dan kemanusiaan, meminta dukungan umat Islam sebagai “pengamal” atau “pelaku” karena agama Islam itu adalah agama amal. Orang akan dinilai saleh karena perbuatan baiknya. Hidup tanpa amal dan perbuatan yang baik adalah sia-sia. Minus. Nonsens. Tidak bernilai. Hidup yang tidak bermanfaat seperti itu, dalam budaya apa pun memang tak punya nilai.
Maka bahasa agama yang konkret adalah bahasa tindak-tanduk dan perbuatan. Kasih sayang Allah yang selalu kita kumandangkan melalui lidah, kita lanjutkan dengan terjemahannya dalam bahasa yang nyata, yaitu bahasa perbuatan. Inilah kunci pendidikan pesantren, berupa bahasa nyata “akhlaqul karimah,” yang dimulai oleh para pengasuh dengan “uswatun hasanah”. Pendidikan budi pekerti tanpa keteladanan melahirkan pertanyaan, “Bagaimana tongkat yang bengkok bisa menimbulkan bayangan yang lurus?”
Itulah yang dilakukan oleh para wali dalam membentuk karakter santri yang berbudi dan berbudaya. Kemudian diteruskan oleh para ulama yang meniru metode Rasulullah SAW tidak menyuruh orang lain berbuat baik sebelum beliau melaksanakan terlebih dahulu.
Budayawan sekelas WS Rendra, menggambarkan bahwa para ulama pesantren disebut “Empu yang bermukim di atas angin”, yaitu yang mengutamakan budaya akal sehat, dan sanggup memberi inspirasi bagi rakyat jelata untuk tahu akan hak-haknya dan selalu siap membela kebenaran secara kesatria. Tradisi dan nilai-nilai pesantren yang masih relevan dengan zaman harus tetap dirawat dan dilaksanakan, sedangkan yang tidak sesuai dengan dinamika kehidupan sekarang perlu ditinggalkan. Di samping itu perlu dengan selektif menerima dan mengadopsi niali-nilai baru yang bisa memperkuat dan memperkaya cakrawala kehidupan pesantren masa kini.
Bahasa nyata atau bahasa perbuatan itu sebagai tanda bukti kelahiran dan kehadiran yang tidak sia-sia. Norma-norma atau nilai-nilai itu tidak akan ada maknanya jika tidak dilaksanakan dalam perbuatan nyata. Jadi, manusia hadir ke dunia dengan akal sehatnya, punya tugas untuk mewujudkan nilai-nilai mulia itu bukan sekadar nilai abstrak yang nyaris tidak ada maknanya. Nilai-nilai itu akan menyatu dengan makna menjadi kemuliaan yang nyata, yaitu konkretnya nilai-nilai yang diangkat dan diwujudkan menjadi kenyataan, bukan sekadar sebagai pengetahuan, ilmu dan wacana. Kata yang bernilai baik, yang cuma diucapkan, diwacanakan, dan diajarkan, tapi tidak dilaksanakan oleh yang mengucapkannya, di dalam Islam dianggap sebagai penyelewengan besar. Kata Allah, “Dosa besar kepada Allah, kamu yang hanya mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”
Firman di atas sangatlah benar, buat apa bicara kalau antara yang diucapkan dengan perbuatannya tidak sesuai. Lain di mulut lain pula pada tindakan nyata.
Ada ungkapan dari tanah Bugis yang berbunyi, “Daemi natotau mulaita gauk ruapitta janci,” yang menurut terjemahan Prof. Dr. A. Zainal Abidin Farid berbunyi, “hanya kata-kata yang menjadikan kita manusia, yaitu sesuainya kata dengan perbuatan dan menepati janji.”
Ketika seseorang tidak lagi sesuai apa yang dikatakannya dengan apa yang ia perbuat, serta berjanji tetapi tidak ditepati, secara hakikat habislah nilai orang itu sebagai manusia. Orang seperti itu baik jiwa maupun tubuhnya sudah tidak punya “nilai” yang agung dan mulia. Kita perhatikan firman Allah yang artinya :
Mereka punya hati tapi tidak berpikir
Mereka punya mata tapi tidak melihat
Mereka punya telinga tapi tidak mendengar
Mereka seperti binatang
Bahkan lebih sesat lagi
Dengan demikian, hati yang tidak berpikir jernih, mata yang tidak nyalang melihat alam dan tanda-tanda zaman, dan telinga yang tidak mau mendengar suara kebenaran, menurut Allah setingkat dengan hewan atau binatang. Orang-orang yang seperti itulah yang hidupnya tidak punya kepentingan untuk meraih nilai, serta tidak akan bisa menyelesaikan persoalan-persoalan kehidupan yang menguntungkan masyarakat atau umat, karena kata-katanya tak lebih dari kepalsuan semata-mata.
Kalimat-kalimat yang diucapkannya tak lebih dari kilah atau kelit yang tidak mengandung makna yang substansial. Sikap hidup yang seperti itu, dalam budaya apa pun tidak akan punya nilai.
Maka kini ketemulah kita dengan karya-karya sastra yang dulu hidup di tengah-tengah alam pesantren. Bagaimana semangat menghargai hidup itu menjadi penting agar umur tidak sia-sia. Semangat untuk belajar sebagai tanda penghormatan terhadap hidup bisa kita temukan dalam puisi di bawah ini:
Orang yang bodoh telah mati sebelum dikuburkan
Tapi orang yang berilmu meskipun mati, sebenarnya tetap hidup
Kesungguhan dalam menghadapi berbagai hal bisa dikembangkan dengan puisi Imam Syafi’i di bawah ini:
Bersungguh-sungguh akan membuat perkara yang jauh jadi dekat
Bersungguh-sungguh akan membuat pintu tertutup jadi terbuka
Dalam puisi di atas, jelas tersurat dan tersirat pentingnya “vitalitas” sebagai penghargaan terhadap hidup. Dan betapa rendahnya martabat orang-orang yang malas belajar, bisa direnung dalam puisi di bawah ini:
Bagi siapa yang melewatkan waktunya lalai belajar
Angkatlah takbir empat kali sebagai salat (jenazah) untuk kematiannya
Bagi para santri tidaklah asing spirit yang terdapat kalimat dibawah ini:
Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kau akan hidup selamanya
Dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan kau akan mati besok pagi
Dari beberapa tukilan di atas, betapa dahsyat bahan renungan dari puisi-puisi yang dulunya sangat populer di pesantren, bahkan menjadi nyanyian jiwa, yang apabila diinterpretasi sampai ke lubuk jiwa, akan menjadi spirit untuk mengoptimalkan energi kehidupan untuk memacu vitalitas.
Dengan percikan-percikan ilham yang menyala seperti itu semangat untuk hidup bermakna menjadi sangat penting. Yaitu menjadi manusia khalifah yang pantas menjadi penjaga dan perawat peradaban di dunia ini. Antara lain mewujudkan cita-cita mulia, dan kata-kata mutiara yang menjadi nilai dan karakter manusia yang membedakan dirinya dengan binatang, karena ilmu dan cita mulia yang tidak menjadi tindakan nyata sama dengan pohon yang tidak berbuah.
Agama yang diterjemahkan penganutnya dengan bahasa perbuatan, akan membuat agama itu menjadi agama yang realistis dan membumi. Masyarakat akan banyak merasakan turunnya “rahmat” lewat penganut agama itu. Amal dan perbuatan adalah bahasa yang paling fasih. Nabi Muhammad bersabda, “Bahasa nyata dengan perbuatan itu lebih fasih dari bahasa yang diucapkan lidah.” Jika ada di antara kita menyeleweng dari nilai-nilai tersebut, berarti, ada pengkhianat di antara kita.
Indahnya perbuatan daripada sekadar wacana perlu dibangun sebagai visi ke depan untuk membangun zaman baru, dan paradigma baru.
Keindahan bisa tampil ketika seorang hamba Allah menghampar sajadah, lalu bersujud di tengah malam sunyi.
Keindahan bisa tampak ketika seorang anak muda mencium tangan ayah-bundanya saat hendak berangkat merantau ke negeri orang.
Keindahan bisa tampak ketika seorang perawat menyeka nanah pada luka seorang pasien.
Keindahan menjadi nyata saat nelayan pulang dari laut membawa sekeranjang ikan.
Keindahan mekar di dada seorang mahasiswa teknik yang merancang mesin pesawat supersonik yang hendak dipersembahkan kepada bangsanya.
Keindahan hadir ketika seorang ilmuwan sedang bereksprimen menjilang beberapa jenis padi, agar menemukan padi formula baru untuk kemakmuran tanah airnya.
Untuk itu, puisi-puisi yang baik, yang memberi spirit untuk hidup mulia harus tetap dibaca dan diapresiasi.
Selain itu, puisi-puisi yang memihak kehidupan dan kebenaran harus tetap ditulis, sebagai upaya untuk menghormati kemanusiaan dan kehidupan. Menjelang abad ke-21 ada hal baru di beberapa pesantren di Indonesia, yaitu maraknya para santri menulis puisi. Jika nilai-nilai pesantren yang kental menyuarakan suara debur jantung keindonesiaan yang santun, tentu akan menjadi angin segar bagi perkembangan sastra dan budi luhur di Indonesia. Pesantren masa depan tentunya memerlukan ketajaman visi di dalam memandu dan memacu perubahan ke arah kehidupan yang lebih maju serta mulia. Sastra adalah salah satu jembatan untuk memandang ke depan. Imajinasi yang mekar berkembang akan mendobrak kebekuan berpikir.
Dari sini, hidup yang indah bisa dibayangkan untuk dibantu dengan keringat kerja nyata.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar